Selasa, 19 Desember 2023

Umat Manusia, Awal Hingga Pertengahan Menuju Akhir yang Tidak Tentu

 

    Umat manusia sejauh ini telah melalui berbagai proses tumbuh kembang yang tidak terkekang oleh umur dan waktu. Tidak diketahui sudah berapa puluh, ratus, ribu, atau bahkan jutaan generasi yang sudah berperan mewarnai lika-liku kemanusiaan di bumi. Banyak kisah senang dan pilu yang muncul dan berlalu begitu saja bak sudah seperti makanan sehari-hari bagi kita, baik yang tercatat maupun yang terlupakan dalam sejarah. Tumbuh-kembang ini tidak pernah luput dari satu muasal kecil, yaitu awal keberadaan kita sendiri. Berbagai spekulasi tentang awal kehidupan manusia memang masih menjadi misteri dan perdebatan yang menarik bagi setiap orang hingga saat ini. Namun satu hal pasti yang dapat kita lihat adalah bagaimana pesatnya pertumbuhan perdaban manusia yang sudah terjadi semenjak tiga juta tahun yang lalu.

    Kondisi Manusia saat pertama kali ditemukan relatif lebih lemah dibandingkan mahkluk lain yang hidup pada garis waktu yang sama. Bagaimana tidak, tubuh mereka yang kecil, gigi mereka yang tidak begitu runcing, kuku mereka yang bahkan kesulitan untuk menggaruk punggung mereka sendiri membuat manusia yang hidup pada masa itu menjadi target yang begitu mudah dikorbankan dalam rantai ekosistem pada saat itu. Manusia yang melihat kelemahan ini dan tidak mau terus tetindas mulai melakukan secara cara untuk bertahan hidup dan meningkatkan kualitas hidup mereka seperti dengan secara perlahan memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka sebagai penunjang hidupnya. Mulai dari alat batu yang dimodifikasi sedemikian rupa hingga membentuk sebuah tajaman yang dapat menggores dan merobek daging dan kulit hewan untuk mereka makan dan kenakan pada tubuh mereka sebagai pembalut karena minimnya sistem “penghangat” alamiah mereka, sebuah ceruk dalam bawah tanah yang dapat mereka manfaatkan sebagai tempat tidur dan berlindung dari kejamnya malam, kayu-kayu yang disusun sedemikian rupa hingga mereka dapat tinggal dibawahnya, hingga temuan suatu entitas panas membara yang dapat membuat makanan mereka semakin lezat.

    Perlahan tapi pasti, konsep tersebut membuat manusia secara perlahan menaikkan taraf hidup mereka. Apa yang manusia awal ini lakukan kita sebut sebagai “Inovasi”. Inovasi tersebut seakan mempermudah aktivitas sehari-hari mereka. Apa yang tidak bisa mereka lakukan dengan fisik, akan mereka tutupi dengan inovasi. Inovasi datang dari pemikiran, dan semakin banyak pikiran maka semakin baik. Istilah itu pula yang membuat manusia sangat nyaman untuk hidup berkelompok. Hal ini tidak lain untuk saling menjaga punggung mereka dari ancaman yang tidak dapat mereka lihat dengan dua mata yang hanya terpasang di wajah dan selalu menghadap kedepan serta leher yang hanya bisa menoleh ke samping kanan dan kiri saja.

    Untuk terus berinovasi, kelompok manusia ini perlu untuk saling bertukar pikiran, dan mereka sadar jika komunikasi non-verbal sangat tidak efisien bagi mereka. Oleh karena itu, mereka mulai memanfaatkan mulut mereka yang selain menjadi tempat masuknya nutrisi ke dalam tubuh juga sebagai sebuah media. Media tersebut kini dikenal sebagai “Komunikasi verbal” dalam bentuk bahasa dan saat diletakkan pada media tertentu komunikasi verbal akan diubah menjadi komunikasi dinamakan tulisan. Bahasa dan Tulisan pada awalnya masih berupa diksi sederhana yang diekspresikan melalui intonasi, tingkat frekuensi, dan ekspresi penyampainya. Mungkin bagi manusia modern, sapi dikenal sebagai “Sapi”, namun bisa jadi bagi leluhur mereka, sapi dikenal sebagai “Moo” layaknya karakteristik suara dari hewan tersebut.

    Dengan ditemukannya dua dari berbagai kunci kesuksesan rantai alam pada suatu ekosistem yaitu “Inovasi” dan “Komunikasi”, hal ini membuat manusia seketika mengalami peroketan taraf hidup dari yang awalnya merupakan spesies rawan hingga dapat menjadi puncak rantai makanan dalam kurun waktu begitu singkat. Pada saat itu, manusia tengah berada pada “Comfort zone” mereka, namun lambat laun inovasi eksploratif dan destruktif yang mereka lakukan membuat sumber daya yang ada disekitarnya menjadi terkikis habis. Saat waktunya tiba, mau tidak mau mereka harus berpindah ke suatu tempat untuk mencari sumberdaya baru. Sama seperti insting hewan pada umumnya, manusia yang merasa sumberdaya di sekitarnya sudah mulai terkikis memutuskan untuk melakukan perpindahan diri layaknya hewan yang mereka lihat dan komentari begitu giat “lalu-lalang” di bumi.

    Ketipisan sumber daya inilah yang membuat mereka dengan segera mengemas semua barang yang kedalam “koper prasejarah” mereka untuk bergerak menuju suatu tempat dengan harapan menemukan daerah dengan sumberdaya yang lebih baik. Mulai pada saat ini, manusia harus membiasakan diri untuk berpindah-pindah untuk sementara waktu. Saat menyesuaikan diri di daerah baru ini, manusia secara tidak langsung membuka satu kunci kesuksesan rantai ekosistem baru yaitu “Adaptasi”.

    Dibanding inovasi dan komunikasi, mungkin adaptasi merupakan kunci proses yang begitu menyakitkan bagi manusia. Bagaimana tidak, saat seseorang memasuki daerah baru yang tidak mereka kenali namun mereka harus dapat bertahan hidup bagaimanapun caranya. Satu persatu sumberdaya mereka coba, mulai dari batu yang terlalu lembek hingga terlalu keras, kayu-kayu yang tidak sekokoh mereka ketahui dulu, daging dan kulit hewan yang begitu sedikit, tidak adanya ceruk lorong panjang di dinding tanah, hingga tempat dimana entitas panas yang begitu mereka dambakan tidak bisa muncul. Tidak perlu jauh-jauh dari hal tersebut, untuk makan saja mereka kadang masih bisa mengalami keracunan dan ini tentu menimbulkan banyak sekali korban pahlawan tanpa tanda jasa pada saat itu. Meskipun begitu, perlahan namun pasti dengan inovasi dan komunikasi yang manusia miliki maka beban konsekuensi dari kunci “Adaptasi” akan mereda sedemikian harinya.

    Setelah semua yang terjadi, manusia pada saat entah mengapa muali merasa lelah dan bosan dengan apa yang mereka lakukan. Berpindah terus selama periode waktu tertentu memang sangat menguras tenaga dan emosi mereka. Oleh karena itu, mereka memikirkan suatu konsep dimana mereka yang pada awalnya mencari makanan menjadi membuat makanan tersebut secara langsung. Namun, mereka tidak mungkin memanfaatkan sesama manusia sendiri sebagai bahan konsep tersebut. Oleh karena itu, manusia bereksperimen dengan mencari apa yang dapat mereka manfaatkan untuk memenuhi ide konsep tersebut. Hal pertama yang mereka coba tentu adalah pada hewan terlebih dahulu. Dibandingkan tumbuhan, hewan mereka anggap jauh lebih “hidup” dan dapat diajak “berkomunikasi” meskipun ada beberapa spesies hewan yang malah tidak menerima mereka dengan lapang dada dan cenderung menimbulkan masalah bagi manusia. Namun beberapa yang berhasil mereka “temani” perlahan mulai bersedia untuk hidup nyaman disamping manusia.

    Dengan begitu dimulailah proses “Domestikasi”. Hewan yang menjadi teman dari manusia akan hidup berdampingan dengan mereka, dilindungi oleh mereka, dan mereka akan memanfaatkan sesuatu yang ada pada hewan tersebut sebagai timbal-balik yang seimbang. Secara bersamaan juga inovasi proses domestikasi tumbuhan juga menjadi topik trend pada saat itu. Mereka secara perlahan mulai mengerti proses budidaya tanaman yang baik dan benar serta memilih tanaman mana yang dapat ditanam pada kondisi tempat tinggal mereka.

    Dari titik ini manusia akan berkembang jauh lebih kompleks lagi. Ditemukannya sistem strata sosial baik itu vertikal maupun horizontal, interaksi antara kelompok lain baik itu positif maupun negatif, hingga hilangnya suatu kelompok akibat kemalangan yang mereka timpa. Itulah yang membentuk kita “Manusia” menjadi apa yang kita lihat, rasakan, dan alami pada saat ini. Kompleksitas pemikiran dan keterikatan hubungan kita berasal dari satu sumber yang begitu kecil dan sepele jika kita lihat pada kacamata saat ini. Sekarang para leluhur kita sudah melakukan apa yang mereka bisa dan mempercayakan semuanya kepada kita, oleh karena itu dari sini penulis mengajukan sebuah pertanyaan bagi pembaca budiman sekalian untuk mengakhiri segmen opini kali ini sekaligus menjadi bahan pemikiran para pembaca budiman sekalian.

“Kemana kita mau membawa kepercayaan ini? Kepada kejayaan? Atau kehancuran?”

Sekian.